Senin, 11 Juli 2016

Seratus sembilan puluh enam hari tanpamu

Tadinya aku ingin berhenti menulis tentangmu. Tapi pada kenyataannya aku tak bisa.
Jika berhenti menulis tentangmu saja aku tak bisa lalu bagaimana mungkin aku bisa berhenti mencintaimu?
Kau layaknya kopi yang kuseduh, Tuan.
Membuatku candu dan ingin terus menikmatinya meski pada akhirnya hanya nyeri yang kudapat.
Tuan...
Hari ini tepat seratus sembilan puluh enam hari tanpamu.
Mungkin kamu sudah berhenti mencintaiku karena kamu sedang berjuang melihat senyuman pelangi yang alasannya karenamu.
Aku bisa apa jika memang kamu semudah itu berpaling. Aku terlambat masuk kembali ke hidupmu. Pintumu sudah tertutup rapat untuk kusinggahi.
Tuan...
Kukira perasaanmu terlalu dalam tetapi ternyata tidak. Untuk menungguku beberapa waktu saja kamu tak bisa.
Seratus sembilan puluh enam hari tanpamu.
Aku berhenti memperjuangkanmu lagi bukan karena aku berhenti mencintaimu tetapi karena kurasa perjuangkan sudah tak dihargai.
Bukan karena aku berhenti mencintaimu tetapi karena kamu yang kuperjuangkan sedang memperjuangkan yang lain.
Tuan...
Jika kamu sudah tak sanggup mengejar cintanya, kamu masih bisa menengok ke belakang. Ada aku di sini. Aku yang tetap mencintaimu.
Itu jika kamu sudi bersanding denganku lagi.
Tetap semangat berjuang untuknya. Biar aku sendiri yang menikmati luka di sini karena menyaksikanmu memainkan peran dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar