Selasa, 28 Juni 2016

Seratus delapan puluh dua hari tanpamu

Hai Tuan...
Apa kabar hari ini?
Tampaknya kulihat kau baik-baik saja.
Berbeda denganku saat ini. Kabarku tak sebaik yang kau kira.
Tuan...
Hari ini tepat 182 hari tanpamu.
Apakah kau tak mau tahu apa yang aku rasakan saat ini?
Perasaanku masih sama, saat pertama kali kita tak sengaja saling beradu pandang.
Tuan...
Tepat 182 hari tanpamu.
Aku merindukanmu.
Aku rindu memperhatikanmu diam-diam.
Aku rindu memandangmu dari balik bahumu.
Aku rindu senyumanmu ketika kau memergokiku sedang memperhatikanmu.
Aku rindu caramu menyapaku.
Aku rindu mendengar deru napasmu ketika kau berada di dekatku.
Aku rindu mimik wajahmu ketika kau sedang mengatur kata untuk berbicara padaku.
Aku rindu candaanmu yang garing.
Tuan...
Aku ingat ketika kau begitu susahnya merangkai kata hanya untuk bilang "Aku cinta kamu". Betapa bodohnya aku melepasmu dengan mudah.
Padahal aku butuh waktu tiga tahun untuk bisa dekat denganmu.
Tuan...
Kita masih ditakdirkan untuk bertemu lagi tetapi kau telah berbeda. Sepertinya kau tak menganggap kehadiranku.
Semarah itukah? Sebenci itukah?
Maafkan aku.
Tuan...
Kau tahu tidak? Hatiku berontak ketika aku melihatmu begitu akrab dengannya?
Dulu kau tak seakrab itu dengan perempuan mana pun.
Apakah hatimu sudah berpaling dengannya?
Tuan...
182 hari tanpamu, aku benar-benar kehilanganmu.

Jumat, 24 Juni 2016

Kapan Kau Pulang?

"Suatu saat nanti ketika kamu kembali mungkin aku sudah tak sama lagi seperti sekarang ini."
Kalimat terakhir yang kau katakan, kemudian berlalu meninggalkanku yang duduk sendirian di tengah keramaian.
Keramaian? Kata siapa?
Justru aku merasakan itu sepi. Yang kudengar hanya napasku sendiri yang tak teratur karena tangisan yang tiba-tiba memaksa untuk berontak.
Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang semakin menjauh.
Tuan...
Apa kau tahu bagaimana sesaknya perasaanku saat itu?
Bukan hanya kau yang sakit tapi aku juga sakit. Amat sakit.
Aku kira kau bakal menengok ke arahku lagi lalu memintaku untuk tetap bertahan.
Tetapi kau tetap pergi. Kau tetap melangkah tanpa menengok ke belakang.
Tuan...
Aku tahu hari-harimu tak sebaik yang kau tulis dalam status media sosialmu.
Sama halnya seperti aku.
Hari-hariku juga tak sebaik yang kau kira.
Ketakutan-ketakutan itu kini menghinggap diriku setelah aku memutuskanmu.
Aku takut kau benar-benar pergi.
Aku takut kau tak akan pulang lagi ke rumah yang seharusnya kau singgahi.
Aku takut kau kecewa dengan sikap kekanak-kanakanku.
Dan akhirnya sekarang ketakutanku benar-benar nyata.
Tuan...
Kau benar-benar pergi bahkan kau tak ingin lagi menginjakkan kakimu di rumahmu sendiri.
Apa aku salah jika akhirnya aku mengharapkanmu untuk tetap pulang?

RINDU

Tuan...
Sampai kapan aku bosan menulis tentangmu?
Selalu saja ada hal menarik darimu untuk kutulis.
Tuan apa kau merasakan hawa panas sepertiku sekarang ini?
Kalau iya, percayalah ini tak sepanas hatiku saatku melihatmu begitu akrab dengannya.
Tuan apa kau merasakan hawa dingin sepertiku sekarang ini?
Kalau iya, percayalah ini tak sedingin sapamu untukku.
Aku merindukanmu, Tuan.
Aku rindu segala hal tentangmu, lebih tepatnya tentang kita.
Dulu, kita seringkali berbincang tentang langit sore yang selalu kita sebut jingga yang menjingga.
Dulu, kita seringkali berbincang tentang ribuan tetes air yang jatuh dari langit yang selalu kita sebut hujan.
Apa kau masih ingat semua tentang itu?
Tentang kamu yang tiba-tiba datang mengetuk pintu rumahku setelah jingga kembali ke peraduannya.
Tentang aku yang terjebak hujan saat akan bertemu denganmu.
Tuan...
Apakah kau serindu itu padaku?

Sabtu, 04 Juni 2016

Seratus lima puluh sembilan hari tanpamu



Kamu apa kabar?
Sudah berapa lama aku dan kamu tak seakrab dulu? Mungkin terlalu panjang jika menyebut aku dan kamu, karena aku pun terlalu takut menyebut ‘kita’, ‘kita’ yang mungkin di matamu tak lagi ada.
Aku ingin tahu siapa kekasihmu saat ini, bisa aku bayangkan pasti kalian tengah berbahagia. Sementara aku harus terjatuh untuk yang kedua kalinya.
Mengingat kejadian itu membuat aku kembali memaki diriku lagi. Aku yang salah. Aku yang membuat diriku sendiri jatuh ke lobang yang sama.
Andai saja tiga bulan sebelum kamu mengungkapkan aku bisa lebih bersabar, mungkin semuanya tak akan menjadi seperti ini. Saat itu kukira kamu tak punya rasa padaku. Bersama dia mungkin bisa membuat kulupa semua tentangmu, tentang cinta dalam diamku.
Hampir tiga tahun aku harus pura-pura tak peduli padamu, pura-pura tak memperhatikanmu padahal dalam hati kecilku aku ingin memilikimu. Selama itu aku menantimu. Selama itu aku bertahan menahan sakit mencintaimu. Aku kira aku sendiri yang merasakan cinta.
Hingga akhirnya aku memilih untuk mencoba menjalani hari dengan dia, seseorang yang selalu kusebut “sahabat”. Sehari, seminggu, sebulan aku mulai nyaman dengan dia. Sedikit kuhapus rasa cinta untukmu. Aku mulai terbiasa menjalani hari-hariku dengannya.
Tetapi, tahukah kamu? Ternyata betapa sulitnya aku memangkas semua tentangmu dari dasar hatiku. Perasaan ini terlalu dalam.
Hingga akhirnya bulan ketiga setelah aku dengannya kau pun hadir. Kau mulai berani mendekatiku sampai kamu mengajakku bertemu lalu mengungkapkan semua yang kamu rasakan padaku. Saat itu aku benar-benar ingin berteriak, ingin meloncat betapa bahagianya ternyata seseorang yang telah lama kutunggu akhirnya datang dan mempunyai rasa yang sama denganku.
Kamu terlambat, Tuan. Aku sudah ada yang punya, tetapi hati kecilku tak bisa membohongi bahwa aku ternyata masih mencintaimu.
Saat itu juga aku putuskan dia dan lebih memilihmu seseorang yang sudah lam kutunggu. Sehari, seminggu, dan sebulan aku mulai menjalani hari-hariku dengan kamu orang yang sangat kucinta. Tapi apa yang terjadi dengan hatiku? Mengapa aku mulai mengingat dia, seorang sahabat yang pernah menjadi kekasihku. Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku setelah aku memutuskan untuk meninggalkan dia. Yah aku merasa kehilangannya. Lalu dengan bodohnya aku segera memutuskanmu tanpa memikirkan gimana perasaanku yang sesungguhnya. Aku merasa tak enak dengan dia. Dia yang selalu ada untukku sebelum aku dan kamu menjadi kita. Aku kembali menjalani hariku dengan dia, dan pelan-pelan mulai melupakanmu.
Tetapi, apakah kamu tahu? Aku masih saja seperti dulu. Aku masih sulit membiasakan hatiku tanpa mencintaimu.
Dan akhirnya aku benar-benar kehilanganmu setelah aku kembali dengan sahabatku. Betapa bodohnya aku telah menyia-nyiakan kamu yang telah lama kutunggu, yang dengan susah payah aku menghapus namamu dari dasar hatiku.
Kamu dan dia pantas menyebutku jahat. Begitu mudahnya aku berpindah-pindah hati. Aku tak bermaksud seperti itu. Hanya saja aku yang bodoh yang tak bisa mengartikan antara cinta dan sayang pada sahabat.
Saat ini seratus lima puluh sembilan hari tanpamu, aku benar-benar merasa kehilanganmu. Aku jungkir balik menerima kenyataan bahwa mungkin kita tak lagi sejalan. Tentu kamu tidak pernah membayangkan, bahwa saat ini tanpamu adalah hari-hari yang menyedihkan yang perihnya aku tahan sendiri. Tidak ada orang yang mengerti tentang perasaan ini karena percuma saja jika mereka tahu pasti aku yang akan disalahkan.
Kini aku berjalan sendirian serta tertatih kesepian. Berjalan dari satu ketakutan ke dalam ketakutan lain. Saat ini aku hanya ingin tahu, apakah masih ada aku di dalam hatimu?