Hai Tuan...
Apa kabar hari ini?
Tampaknya kulihat kau baik-baik saja.
Berbeda denganku saat ini. Kabarku tak sebaik yang kau kira.
Tuan...
Hari ini tepat 182 hari tanpamu.
Apakah kau tak mau tahu apa yang aku rasakan saat ini?
Perasaanku masih sama, saat pertama kali kita tak sengaja saling beradu pandang.
Tuan...
Tepat 182 hari tanpamu.
Aku merindukanmu.
Aku rindu memperhatikanmu diam-diam.
Aku rindu memandangmu dari balik bahumu.
Aku rindu senyumanmu ketika kau memergokiku sedang memperhatikanmu.
Aku rindu caramu menyapaku.
Aku rindu mendengar deru napasmu ketika kau berada di dekatku.
Aku rindu mimik wajahmu ketika kau sedang mengatur kata untuk berbicara padaku.
Aku rindu candaanmu yang garing.
Tuan...
Aku ingat ketika kau begitu susahnya merangkai kata hanya untuk bilang "Aku cinta kamu". Betapa bodohnya aku melepasmu dengan mudah.
Padahal aku butuh waktu tiga tahun untuk bisa dekat denganmu.
Tuan...
Kita masih ditakdirkan untuk bertemu lagi tetapi kau telah berbeda. Sepertinya kau tak menganggap kehadiranku.
Semarah itukah? Sebenci itukah?
Maafkan aku.
Tuan...
Kau tahu tidak? Hatiku berontak ketika aku melihatmu begitu akrab dengannya?
Dulu kau tak seakrab itu dengan perempuan mana pun.
Apakah hatimu sudah berpaling dengannya?
Tuan...
182 hari tanpamu, aku benar-benar kehilanganmu.
Selasa, 28 Juni 2016
Seratus delapan puluh dua hari tanpamu
Jumat, 24 Juni 2016
Kapan Kau Pulang?
"Suatu saat nanti ketika kamu kembali mungkin aku sudah tak sama lagi seperti sekarang ini."
Kalimat terakhir yang kau katakan, kemudian berlalu meninggalkanku yang duduk sendirian di tengah keramaian.
Keramaian? Kata siapa?
Justru aku merasakan itu sepi. Yang kudengar hanya napasku sendiri yang tak teratur karena tangisan yang tiba-tiba memaksa untuk berontak.
Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang semakin menjauh.
Tuan...
Apa kau tahu bagaimana sesaknya perasaanku saat itu?
Bukan hanya kau yang sakit tapi aku juga sakit. Amat sakit.
Aku kira kau bakal menengok ke arahku lagi lalu memintaku untuk tetap bertahan.
Tetapi kau tetap pergi. Kau tetap melangkah tanpa menengok ke belakang.
Tuan...
Aku tahu hari-harimu tak sebaik yang kau tulis dalam status media sosialmu.
Sama halnya seperti aku.
Hari-hariku juga tak sebaik yang kau kira.
Ketakutan-ketakutan itu kini menghinggap diriku setelah aku memutuskanmu.
Aku takut kau benar-benar pergi.
Aku takut kau tak akan pulang lagi ke rumah yang seharusnya kau singgahi.
Aku takut kau kecewa dengan sikap kekanak-kanakanku.
Dan akhirnya sekarang ketakutanku benar-benar nyata.
Tuan...
Kau benar-benar pergi bahkan kau tak ingin lagi menginjakkan kakimu di rumahmu sendiri.
Apa aku salah jika akhirnya aku mengharapkanmu untuk tetap pulang?
RINDU
Tuan...
Sampai kapan aku bosan menulis tentangmu?
Selalu saja ada hal menarik darimu untuk kutulis.
Tuan apa kau merasakan hawa panas sepertiku sekarang ini?
Kalau iya, percayalah ini tak sepanas hatiku saatku melihatmu begitu akrab dengannya.
Tuan apa kau merasakan hawa dingin sepertiku sekarang ini?
Kalau iya, percayalah ini tak sedingin sapamu untukku.
Aku merindukanmu, Tuan.
Aku rindu segala hal tentangmu, lebih tepatnya tentang kita.
Dulu, kita seringkali berbincang tentang langit sore yang selalu kita sebut jingga yang menjingga.
Dulu, kita seringkali berbincang tentang ribuan tetes air yang jatuh dari langit yang selalu kita sebut hujan.
Apa kau masih ingat semua tentang itu?
Tentang kamu yang tiba-tiba datang mengetuk pintu rumahku setelah jingga kembali ke peraduannya.
Tentang aku yang terjebak hujan saat akan bertemu denganmu.
Tuan...
Apakah kau serindu itu padaku?