Sabtu, 04 Juni 2016

Seratus lima puluh sembilan hari tanpamu



Kamu apa kabar?
Sudah berapa lama aku dan kamu tak seakrab dulu? Mungkin terlalu panjang jika menyebut aku dan kamu, karena aku pun terlalu takut menyebut ‘kita’, ‘kita’ yang mungkin di matamu tak lagi ada.
Aku ingin tahu siapa kekasihmu saat ini, bisa aku bayangkan pasti kalian tengah berbahagia. Sementara aku harus terjatuh untuk yang kedua kalinya.
Mengingat kejadian itu membuat aku kembali memaki diriku lagi. Aku yang salah. Aku yang membuat diriku sendiri jatuh ke lobang yang sama.
Andai saja tiga bulan sebelum kamu mengungkapkan aku bisa lebih bersabar, mungkin semuanya tak akan menjadi seperti ini. Saat itu kukira kamu tak punya rasa padaku. Bersama dia mungkin bisa membuat kulupa semua tentangmu, tentang cinta dalam diamku.
Hampir tiga tahun aku harus pura-pura tak peduli padamu, pura-pura tak memperhatikanmu padahal dalam hati kecilku aku ingin memilikimu. Selama itu aku menantimu. Selama itu aku bertahan menahan sakit mencintaimu. Aku kira aku sendiri yang merasakan cinta.
Hingga akhirnya aku memilih untuk mencoba menjalani hari dengan dia, seseorang yang selalu kusebut “sahabat”. Sehari, seminggu, sebulan aku mulai nyaman dengan dia. Sedikit kuhapus rasa cinta untukmu. Aku mulai terbiasa menjalani hari-hariku dengannya.
Tetapi, tahukah kamu? Ternyata betapa sulitnya aku memangkas semua tentangmu dari dasar hatiku. Perasaan ini terlalu dalam.
Hingga akhirnya bulan ketiga setelah aku dengannya kau pun hadir. Kau mulai berani mendekatiku sampai kamu mengajakku bertemu lalu mengungkapkan semua yang kamu rasakan padaku. Saat itu aku benar-benar ingin berteriak, ingin meloncat betapa bahagianya ternyata seseorang yang telah lama kutunggu akhirnya datang dan mempunyai rasa yang sama denganku.
Kamu terlambat, Tuan. Aku sudah ada yang punya, tetapi hati kecilku tak bisa membohongi bahwa aku ternyata masih mencintaimu.
Saat itu juga aku putuskan dia dan lebih memilihmu seseorang yang sudah lam kutunggu. Sehari, seminggu, dan sebulan aku mulai menjalani hari-hariku dengan kamu orang yang sangat kucinta. Tapi apa yang terjadi dengan hatiku? Mengapa aku mulai mengingat dia, seorang sahabat yang pernah menjadi kekasihku. Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku setelah aku memutuskan untuk meninggalkan dia. Yah aku merasa kehilangannya. Lalu dengan bodohnya aku segera memutuskanmu tanpa memikirkan gimana perasaanku yang sesungguhnya. Aku merasa tak enak dengan dia. Dia yang selalu ada untukku sebelum aku dan kamu menjadi kita. Aku kembali menjalani hariku dengan dia, dan pelan-pelan mulai melupakanmu.
Tetapi, apakah kamu tahu? Aku masih saja seperti dulu. Aku masih sulit membiasakan hatiku tanpa mencintaimu.
Dan akhirnya aku benar-benar kehilanganmu setelah aku kembali dengan sahabatku. Betapa bodohnya aku telah menyia-nyiakan kamu yang telah lama kutunggu, yang dengan susah payah aku menghapus namamu dari dasar hatiku.
Kamu dan dia pantas menyebutku jahat. Begitu mudahnya aku berpindah-pindah hati. Aku tak bermaksud seperti itu. Hanya saja aku yang bodoh yang tak bisa mengartikan antara cinta dan sayang pada sahabat.
Saat ini seratus lima puluh sembilan hari tanpamu, aku benar-benar merasa kehilanganmu. Aku jungkir balik menerima kenyataan bahwa mungkin kita tak lagi sejalan. Tentu kamu tidak pernah membayangkan, bahwa saat ini tanpamu adalah hari-hari yang menyedihkan yang perihnya aku tahan sendiri. Tidak ada orang yang mengerti tentang perasaan ini karena percuma saja jika mereka tahu pasti aku yang akan disalahkan.
Kini aku berjalan sendirian serta tertatih kesepian. Berjalan dari satu ketakutan ke dalam ketakutan lain. Saat ini aku hanya ingin tahu, apakah masih ada aku di dalam hatimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar